-->
Tahap Sosialisasi, Jenis Sosialisasi dan Syarat Sosialisasi

Tahap Sosialisasi, Jenis Sosialisasi dan Syarat Sosialisasi


Sosialisasi adalah sebuah proses penanaman atau transfer mengenai kebiasaan atau nilai dan aturan dari satu generasi ke generasi lainnya dalam masyarakat. Sosialisasi merupakan suatu interaksi sosial atau komunikasi yang terjadi antara seseorang atau individu dengan orang atau individu yang lain. Sejumlah sosiolog menjelaskan bahwa sosialisasi sebagai salah satu teori yang berkaitan dengan peranan (role theory) karena dalam proses sosialisasi ini diajarkan mengenai peran-peran yang harus dijalankan oleh seseorang atau individu.
Pada hakikatnya, manusia adalah mahkluk sosial yang harus saling bersosialisasi atau berinteraksi dengan manusia lainnya. Tidak mungkin ada manusia yang dapat hidup sendiri tanpa adanya bantuan dari orang lain. Sosialisasi ini sangat dibutuhkan bagi setiap manusia. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai sosialisasi, pada kesempatan ini akan dibahas mengenai tahapan-tahapan sosialisasi.

Tahap Persiapan (Preparatory Stage)

Tahap persiapan ini dialami semenjak manusia dilahirkan ke dunia. Pada saat seorang anak mempersiapkan diri untuk mengenal dunia sosial dengan lingkungannya, termasuk untuk memperoleh pemahaman tentang diri sendiri. Pada tahapan ini, anak-anak juga mulai melakukan kegiatan atau aktivitas meniru meski tidak secara sempurna. Misal: seorang anak mengatakan “makan” yang diajarkan oleh ibunya. Kemudian anak tersebut yang masih mengucapkan “mam”. Makna kata yag diucapkan oleh anak tersebut juga belum dapat dipahami dengan tepat oleh anak. Seiring berjalannya waktu anak tersebut memahami secara tepat makna kata makan tersebut dengan kenyataan yang sudah pernah dialaminya.

Tahap Meniru (Play Stage)

Pada tahap meniru ditandai dengan perkembangan anak atau semakin sempurnanya seorang anak menirukan beberapa peran yang dilakukan oleh orang dewasa yang ada di sekitarnya. Pada tahapan ini, anak mulai terbentuk kesadaran tentang nama dirinya dan siapa nama orang tuanya, kakaknya, dan sebagainya yang berada di sekitar anak tersebut. Anak sudah mulai menyadari tentang apa yang dilakukan ibunya dan apa yang diharapkan seorang ibu dari anak tersebut. Kemampuan anak tersebut pada tahap ini mulai untuk menempatkan diri pada posisi orang lain. Kesadaran dirinya bahwa dunia sosial manusia yang terdiri atas banyak orang sudah mulai terbentuk. Sebagian dari orang yang ada di sekitar anak merupakan orang-orang yang dianggap cukup penting bagi pembentukan dan pertahanan diri, yakni dari mana anak menyerap norma dan nilai. Bagi seorang anak, orang-orang tersebut sebagai orang-orang yang sangat berarti (Significant other).

Tahap Siap Bertindak (Game Stage)

Pada tahap meniru yang dilakukan oleh seorang anak akan mulai berkurang dan digantikan oleh peran secara langsung yang dimainkan oleh sendiri dengan penuh kesadaran. Kemampuan anak dalam menempatkan diri pada posisi orang lain sudah mulai meningkat sehingga memungkinkan adanya kemampuan bermain dengan yang lainnya secara bersama. Seorang anak sudah mulai menyadari tentang adanya tuntutan untuk membela keluarga dan bekerja sama dengan teman-temannya. Pada tahap ini, seorang anak akan berinteraksi dengan orang lain semakin banyak dan hubunganya juga semakin kompleks. Individu mulai berhubungan dengan teman-teman sebaya di lingkungan luar rumah. Peraturan-peraturan yang berlaku di luar lingkungan keluarganya secara bertahap juga mulai dipahami. Bersamaan dengan hal tersebut, seorang anak akan mulai menyadari bahwa adanya norma tertentu yang berlaku di luar lingkungan keluarganya.

Tahap Penerimaan Norma Kolektif (Generalized Stage/Generalized Other)

Pada tahap penerimaan norma kolektif ini seseorang anak  telah dianggap sebagai orang dewasa. Seorang anak sudah dapat menempatkan dirinya dalam posisi masyarakat secara lebih luas. Ia  sudah dapat bertanggung jawab dan bertenggang rasa tidak hanya dengan orang-orang yang berinteraksi dengannya tetapi juga dengan masyarakat secara luas. Manusia yang sudah dewasa telah menyadari tentang pentingnya sebuah peraturan, kemampuan bekerja sama dengan orang lain sudah lebih baik.

TAHAP SOSIALISASI

Jenis Sosialisasi


Sosialisasi Primer

Sosialisasi primer adalah suatu jenis sosialisasi yang terjadi dalam lingkungan keluarga. Peter L. Berger dan Luckmann mendefinisikan bahawa sosialisasi primer ini sebagai salah satu sosialisasi pertama yang dijalani oleh individu pada masa kecil dengan belajar menjadi anggota masyarakat (dalam hal ini yaitu keluarga). Sosialisasi primer berlangsung pada saat anak berusia 1-5 tahun atau pada saat anak belum masuk sekolah. Seorang anak sudah mulai mengenal anggota keluarganya dan lingkungan dalam keluarganya. Secara bertahap, dia sudah mulai mampu membedakan antara dirinya dengan orang lain di sekitar keluarganya. Dalam tahap ini, peran orang-orang terdekat dengan anak menjadi cukup penting karena seorang anak akan melakukan pola interaksi secara terbatas. Karakter kepribadian dari seorang anak akan sangat ditentukan oleh karakter kepribadian dan interaksi yang terjadi antara anak dengan anggota keluarga terdekatnya. Jadi dalam lingkungan keluarga ini, diharapkan seorang anak mendapatkan nilai-nilai kesopanan yang baik. Selain itu, seorang anak juga harus mendapatkan nilai-nilai agama agar pada proses sosialisasi selanjutnya dapat membentuk pribadi yang unggul.

Sosialisasi Sekunder

Sosialisasi sekunder merupakan sosialisasi yang terjadi dalam lingkungan masyarakat. Sosialisasi sekunder adalah suatu proses sosialisasi lanjutan setelah sosialisasi primer yang memperkenalkan individu ke dalam kelompok tertentu dalam masyarakat. Salah satu bentuknya adalah resosialisasi dan desosialisasi. Dalam proses resosialisasi, seseorang akan diberikan sebuah identitas diri yang baru. Berbeda dengan dalam proses desosialisasi, seseorang akan mengalami ‘pencabutan’ identitas diri yang lama. Kedua proses sosialisasi tersebut berlangsung dalam institusi total, yaitu tempat tinggal dan tempat bekerja. Dalam kedua institusi tersebut, terdapat sejumlah individu dalam situasi yang sama, terpisah dari masyarakat luas dalam jangka waktu kurun tertentu, bersama-sama menjalani hidup, dan diatur secara formal.

Syarat Sosialisasi

Agar dua hal di atas dapat berlangsung maka ada beberapa kondisi yang harus ada agar proses sosialisasi terjadi. Pertama adanya warisan biologikal, dan kedua adalah adanya warisan sosial.

Warisan Kematangan Biologis

Warisan biologis yang merupakan kekuatan manusia, memungkinkan dia melakukan adaptasi pada berbagai macam bentuk lingkungan. Hal inilah yang menyebabkan manusia bisa memahami masyarakat yang senantiasa berubah, sehingga lalu dia mampu berfungsi di dalamnya, menilainya, serta memodifikasikannya.

Warisan Sosial Lingkungan Yang Menunjang

Sosialisasi juga menuntut adanya lingkungan yang baik yang menunjang proses tersebut, di mana termasuk di dalamnya interaksi sosial. Kasus di bawah ini dapat dijadikan satu contoh tentang pentingnya lingkungan dalam proses sosialisasi. Susan Curtiss (1977) menaruh minat pada kasus anak yang diisolasikan dari lingkungan sosialnya. Pada tahun 1970 di California ada seorang anak berusia tigabelas tahun bernama Ginie yang diisolasikan dalam sebuah kamar kecil oleh orang tuanya. Dia jarang sekali diberi kesempatan berinteraksi dengan orang lain. Kejadian ini diketahui oleh pekerja sosial dan kemudian Ginie dipindahkan ke rumah sakit, sedangkan orang tuanya ditangkap dengan tuduhan melakukan penganiayaan dengan sengaja. Pada saat akan diadili ternyata ayahnya bunuh diri. Ketika awal berada di rumah sakit, kondisi Ginie sangat buruk. Dia kekurangan gizi, dan tidak mampu bersosialisasi. Setelah dilakukan pengujian atas kematangan mentalnya ternyata mencapai skor seperti kematangan mental anak-anak berusia satu tahun. Para psikolog, akhli bahasa, akhli syaraf di UCLA (Universitas California) merancang satu program rehabilitasi mental Ginie. Empat tahun program tersebut berjalan ternyata kemajuan mental Ginie kurang memuaskan. Para akhli  tersebut heran mengapa Ginie mengalami kesukaran dalam memahami prinsip tata bahasa, padahal secara genetis tidak dijumpai cacat pada otaknya. Sejak dimasukan ke rumah sakit sampai dengan usia dua puluh tahun, Ginie dilibatkan dalam lingkungan yang sehat, yang menunjang proses sosialisasi. Hasilnya, lambat laun Ginie mulai bisa berpartisipasi dengan lingkungan sekitarnya. Penelitian lain dilakukan oleh Rene Spitz (1945). Dia meneliti bayi-bayi yang ada di rumah yatim piatu yang memperoleh nutrisi dan perawatan medis yang baik namun kurang memperoleh perhatian personal. Ada enam perawat yang merawat empat puluh lima bayi berusia di bawah delapan belas bulan. Hampir sepanjang hari, para bayi tersebut berbaring di dalam kamar tidur tanpa ada “human-contact”. Dapat dikatakan, bayi-bayi tersebut jarang sekali menangis, tertawa, dan mencoba untuk bicara. Skor tes mental di tahun pertama sangat rendah, dan dua tahun kemudian penelitian lanjutan dilakukan dan ditemukan di atas sepertiga dari sembilan puluh satu anak-anak meninggal dunia.
Dari apa yang ditemukannya, Spitz menarik kesimpulan bahwa kondisi lingkungan fisik dan psikis seorang bayi pada tahun pertama sangat mempengaruhi pembentukan mentalnya. Bayi pada saat itu sangat memerlukan sentuhan-sentuhan yang memunculkan rasa aman – kehangatan, dan hubungan yang dekat dengan manusia dewasa – sehingga bayi dapat tumbuh secara normal di usia-usia selanjutnya.

Teori Looking Glass Self Charles Horton Cooley

Menurut Charles H. Cooley tentang sosialisasi adalah proses pembentukkan diri (self). Dia lebih menekankan pada peranan interaksi dalam teorinya. Menurutnya, Konsep Diri (self concept) seseorang berkembang melalui interaksi yang dilakukan oleh seseorang dengan orang lain. Sesuatu yang kemudian disebut looking-glass self terbentuk melalui tiga tahapan sebagai berikut.
Tiga Tahapan Looking Glass Self
1.Seorang anak yang dapat membayangkan tentang dirinya di mata orang lain.
Misalnya seorang anak yang merasa dirinya sebagai anak yang paling hebat dan yang paling pintar di antara yang lainnya karena sang anak memiliki prestasi yang cukup bagus di kelas dan selalu menang di berbagai kegiatan perlombaan.
2.Seorang anak dapat membayangkan bagaimana orang lain menilai dirinya.
Contohnya dengan pandangan bahwa seorang anak adalah anak yang cukup hebat, sang anak membayangkan pandangan orang lain terhadap dirinya. Dia merasa orang lain selalu memujinya, selalu percaya pada setiap tindakannya. Perasaan ini dapat saja muncul dari perlakuan orang lain terhadap dirinya. Contohnya, seorang guru yang selalu mengikutsertakan dirinya dalam berbagai kegiatan lomba. Kemudian seorang anak tersebut mungkin merasa dirinya paling hebat padahal apabila dibandingkan dengan orang lain, ia mungkin tidak ada apa-apanya. Perasaan hebat ini dapat saja menurun kalau sang anak memperoleh informasi dari orang lain bahwa ada anak yang lebih hebat dari dirinya.
3.Bagaimana perasaan seseorang sebagai akibat dari penilaian tersebut.
Dengan adanya penilaian dari orang lain mengenai sang anak tersebut adalah anak yang cukup hebat, maka akan timbul perasaan bangga dan penuh percaya diri.


Incoming Search:
tahap sosialisasi anak
tahap sosialisasi menurut george herbert mead
tahap sosialisasi pada masa dewasa
tahap sosialisasi menurut gertrudge jaeger
tahap sosialisasi dalam masyarakat
tahap sosialisasi dalam sosiologi
tahap sosialisasi generalized others
tahap sosialisasi remaja
tahap sosialisasi dan contoh
tahap sosialisasi menurut charles horton cooley
tahap sosialisasi dalam pengendalian sosial
tahap sosialisasi significant other
tahap sosialisasi beserta contoh
tahap sosialisasi menurut para ahli
tahap proses sosialisasi anak
tahap sosialisasi politik anak
Baca Juga
SHARE
Subscribe to get free updates

Related Posts

Posting Komentar